Papua Press Agency

Free West Papua Documents and Information Updates

Nasionalisme Papua: Permasalahan dalam Sorotan

Ada empat cerita yang menjadi pemicu bagi penulis menghabiskan waktu, tenaga dan dana menulis buku ini, yang paling tidak juga mengusik sidang pembaca sekalian dalam mewacanakan nasionalisme yang sedang berkembang di Tanah Papua. Keempat cerita ini tampil di hadapan penulis sebagai masalah yang membayangi atau mengganggu dalam mewacanakan, memahami dan melihat dengan jelas wajah nasionalisme Papua.
Empat Cerita Pemicu
Cerita pertama berasal dari penulisan buku Edisi VIII (Seri VIIIa – VIIId) yang mengulas Demokrasi Kesukuan[] sebagai sebuah gagasan untuk sistem kepemerintahan Masyarakat Adat, terutama Masyarakat Adat di Papua Barat. Pada suatu hari saya tiba pada kesimpulan ketika menulis buku Edisi VIIIb yang mengungkap demokrasi dalam kacamata Masyarakat Adat. Kelihatannya perlu ada tulisan terpisah yang memetakan kembali ‘isme-isme’ politik mulai dari liberalisme sampai anarkisme dalam kacamata Masyarakat Adat karena ‘isme-isme’ adalah fenomena masyarakat modern yang belum dijangkau oleh konteks pemikiran, pemahaman dan realitas kehidupan Masyarakat Adat di Papua Barat. Saya putuskan untuk menulis buku Seri IX berisi hampir semua ‘isme-isme’ politik modern.[]
Di tengah jalan penulisan buku Seri/ Edisi IX ini saya dihentikan lagi, tepat pada saat saya tiba pada Bab tentang ‘nasionalisme’ sebagai salah satu dari ideologi politik modern. Saya berusaha memetakan nasionalisme dalam konteks ‘isme-isme’ lainnya, tetapi mengalami kesulitan karena dua alasan: yang pertama nasionalisme tidak menolak ataupun mendukung semua ‘isme’ politik yang ada selama ini. Pada saat yang sama, ia tidak sama dengan ideologi politik lain yang memfokuskan diri kepada beberapa isu (aspek) kehidupan. Saya dapati bahwa ternyata nasionalisme mencakup hampir segenap aspek kehidupan manusia.
Saya lanjutkan pelacakan mengapa begitu? Dan ternyata nasionalisme itu sangat universal, karena ia menjiwai dan dijiwai oleh segenap bangsa di dunia, serta mencakup berbagai aspek kehidupan. Tetapi pada saat yang sama pula ia sangat partikuler, karena masing-masing bangsa memiliki kekhasan konsepsi dan struktur dari nasionalisme mereka yang sangat unik dan beragam, walaupun ekspresi dan tujuan serta apa yang mereka tentang dan cita-citakan hampir sama.
Meingingat bangsa Papua sendiri sangat berkepentingan dengan nasionalisme, maka saya hentikan penulisan Buku Seri IX dan memulai penulisan buku ini sebagai Seri X dengan judul: Sukuisme: Nasionalisme Masyarakat Adat Papua, yaitu ulasan teoritis nasionalisme Papua sebagaimana adanya.
***

Cerita kedua dari pengalaman suatu hari saya menghadiri sebuah rapat internal, diundang mewakili Demmak (Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka). Pada pertemuan itu digariskan beberapa kebijakan sebagai tuntunan bagi perjuangan aspirasi bangsa Papua. Yang menarik bagi saya dalam diskusi itu adalah penegasan salah-satu peserta rapat itu, “Nasionalisme yang sedang kita perjuangkan hanya menyangkut bangsa Papua, jadi tidak ada nasionalisme Koteka atau sukuisme di sini!”
Saya ajukan pertanyaan kepadanya, “Coba jelaskan apa wajah nasionalisme Papua tanpa Koteka?” Ia lalu tegaskan,
Pokoknya saya mau kita semua bersatu dalam satu payung, satu organisasi, di bawah satu pemimpin, dalam satu garis kebijakan. Jangan bermimpi menciptakan identitas macam-macam! Itu merusak nasionalisme.
Saya membalasnya:
Maaf, setahu saya justru Anda yang sedang bermimpi siang bolong, karena yang ada sekarang dan yang sudah ada sejak moyang orang Papua serta yang akan ada selamanya di Papua Barat adalah identitas Koteka dan identitas asli dan adat lainnya yang melekat dengan jatidiri orang Papua. Anda tak bisa bermimpi siang-bolong untuk menghapuskan identitas asli yang ada pada saat ini atas nama siapapun atau apapun, sekaligus mengatas-namakan nasionalisme Papua. Karena dengan demikian, Anda menjadi bagian dari musuh bangsa Papua yang sedang ditentang. Identitas adalah alasan inti perjuangan kita, yang kita bela dan hendak lestarikan, bukan sebaliknya. Kalau perjuangan ini hendak menghapuskan identitas orang Papua, termasuk identitas Koteka, maka kita jangan menyebutnya nasionalis Papua!
Teman tadi terus bersikukuh bahwa pada prinsipnya nasionalisme Papua haruslah menunjukkan keseragaman, ia tak percaya nasionalisme Papua pernah ada sebelum ada keseragaman. Rapat dimaksud berakhir tanpa hasil apa-apa lantaran perbedaan pendapat yang begitu tajam. Tetapi ia telah membantu memberikan bahan penting dalam perjuangan aspirasi bangsa Papua.
***

Cerita ketiga berasal dari wacana nasionalisme yang berkembang di tanah air: yaitu dua kubu yang memperjuangkan dua versi nasionalisme
(1) nasionalisme Papindo; dan
(2) nasionalisme Papua Merdeka
untuk satu entitas identitas bangsa yang bernama ‘Papua’. Kelihatannya kedua tujuan ini bertolak-belakang. Tetapi berdasarkan teori normativ sebenarnya keduanya sama karena mereka membela entitas identitas Papua agar diakui, dihargai dan dilindungi sehingga tidak punah dari muka bumi serta agar entitas identitas dimaksud dimajukan atau dikembangkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Yang berbeda hanyalah bentuk dan atau format yang dipilih dan dianggap dapat diterima dan diupayakan untuk mencapai tujuan melindungi dan memajukan entitas identitas Papua dari kepunahan: yang satu memilih jalan pragmatis dan moderat (Otsus di dalam NKRI), yang lainnya memilih jalan idealis dan radikal (Papua Merdeka).
***

Cerita pemicu keempat diciptakan oleh fenomena pemekaran wilayah provinsi. Di tengah berbagai persoalan di atas, kita diperhadapkan lagi dengan pemekaran provinsi Papua menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Dalam konteks perkembangan politik NKRI, kita diperhadapkan dengan pertanyaan:
· Apakah nasionalisme Papua itu berlaku berdasarkan sebuah entitas wilayah administrasi NKRI, ataukah didasarkan entitas identitas ‘bangsa’?
· Nasionalisme Papua artinya nasionalisme dari orang Papua yang ada di Provinsi Papua ataukah nasionalisme bagi suku-suku yang ada di Pulau New Guinea bagian Barat, yang kini berada dalam Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat?
Pemekaran provinsi jelas menciptakan wacana nasionalisme Papua mengalami kebingungan, karena kita terpengaruh oleh nama wilayah administrasi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Empat Pertanyaan yang Mengusik
Empat cerita ini sangat menggangu benak saya. Saya sangat tertarik melacak nasionalisme dalam konteks nasionalisme yang berkembang di Tanah Papua, tetapi tertantang oleh keempat cerita di atas yang merupakan fenomena yang berkembang belakangan di Papua Barat belakangan ini. Saya lalu membatalkan dua seri buku sebelumnya dan memutuskan menulis buku ini.
Dalam melacak wajah nasionalisme Papua itu, didapati paling tidak ada empat pertanyaan pokok terkait dengan empat cerita di atas yang mengusik hati saya saat memikirkan untuk menulis buku ini:
§ Apa artinya nasionalisme Papua? Apakah itu berarti keseragaman atau kesamaan secara etnik, budaya, agama, dan secara organisasi (pimpinan, struktur organisasi dan program), ataukah kesamaan alasan dan tujuan perjuangan?;
§ Apa arti “nasional” dalam “-isme” ini sehingga walaupun saya memandangnya kesamaan secara ideologis, ada juga yang melihatnya secara fisik dan organisatoris?;
§ Apakah nasionalisme Papua hanya mencakup ‘bangsa Papua’ ataukah ia mencakup orang dari bangsa lain yang ada di Tanah Papua yang mendukung nasionalisme Papua juga?;
§ Kalau buku ini menyebut ‘nasionalisme’ Papua berarti apakah ia hanya mencakup nasionalisme dari orang Papua yang ada di Provinsi Papua, ataukah juga mencakup orang Papua yang ada di Provinsi Papua Barat?

Filed under: Books & Paper, ,

Papuan TPN/OPM Declares War On 1 December 2002: What happened with PDP's

[lang_en]From: “f P c N” <forum at fPcN-global.org>

Sent: Friday, November 29, 2002 10:54 AM

Subject: Papuan TPN/OPM Declares War On 1 December 2002: What happened with PDP’s

West Papua Today, 28 November 2002, the Collective Editorial Board of the Dairy of Online Papua Mouthpiece received a message containing the Order of Operation (Perintah Operasi or PO) from the HQ of the Liberation Army of Free Papua Movement (TPN/OPM).

Gen. Wenda argues that “TPN/OPM is not terrorist. It is purely for West Papua independence, on the basis of human rights and the UN Charter. The USA, Britain, Indonesia and all countries in the world at once rebelled against colonialism and they won. Papuans are now declaring war against state-terrorism in West Papua, for lasting peace, stability and security in the Pacific and Southeast Asia.”

He argued that Indonesia is discriminative in resolving conflicts. It is ready to talk peace other organisations campaigning for independence in Indonesia, but neglect the demand for meaningful dialogue by Papuan people. He expressed his suspicion that most probably Indonesia as a terrorist state wants the rebel groups to declare war and that it can act brutally.

In his letter to the CEB, he requested the world leaders to:

1. Understand that this war is part of the war against terrorism in Indonesia and state-terrorism in West Papua.

2. Put pressure on the Indonesian government to talk peace so as to resolve the lingering issue of the ‘history’ of West Papua annexation by Indonesia.

For the world NGOs and supporters to:

1. Ask and put pressure on the Indonesian government NOT to shoot on the spot innocent civilians as the Indonesian army and police normally do in West Papua.

No more bloodsheds.

2. Stay on alert in order to send humanitarian aid to West Papua.

3. Put pressure on Indonesian government to talk peace with West Papua people’s representatives.

He continued, “This is the war in demand for the recognition and respect of the fundamental and inalienable rights of the Papuans as human beings, no laws against this struggle.”

News and updates on the war in West Papua will be available on daily basis at http://www.westpapua.net

PDP says “No war!”, but does it talk with the TPN/OPM

Many times the PDP claimed itself as the single legitimate organisation for West Papua independence. It claims that there have been a series of discussions with the TPN/OPM and that it can handle what TPN/OPM plans to do in order to give more time and space for non-violent movement. However, not more than a week after the PDP issued its ‘no to war’ letter, today the TPN/OPM is saying a different story.

The remaining question is: “Does or Can the PDP negotiate with the TPN/OPM to follow its policies?” If not, “What is the proof of what PDP says that it does have daily communications with the TPN/OPM? Further questions may be, “Who does the TPN/OPM trust to speak for West Papua’s political future?”

Only the time will prove and or answer these all, but the key issue is that “War in West Papua is unavoidable.” (TW/AK)

=====

Sem Karoba
Spokesperson for International Community
The AMP for Demmak and WestPaC
http://www.westpapua.org.uk or
http://www.westpapua.net
E-mail: koteka at westpapua.net
Mobile Phones:In Ireland: 087 631 7539
In Indonesia: +62(0)818255971[/lang_en]

Filed under: Media & Analysis, , , , , , ,

Kronologis Upaya Presidium Dewan Papua dan Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka (Demmak) guna mencegah terjadi konflik akibat penurunan bendera

oleh: Jerry Mario, anggota Presidium Papua dan S. Karoba, Fungsionaris Demmak6 Oktober 2000

  1. Hari Senin, 2 Oktober 2000 Presidium Dewan Papua menerima surat dari Kapolda yang meminta Presidium Dewan Papua untuk menurunkan bendera bintang kejora. Pada hari tersebut PDP mengadakan rapat di Hotel Yasmin. Keputusannya harus ada perjumpaan dengan Pemda Tk I Papua. Kemudian disapakti satu tim bertemu Ketua DPRD Tk I Papua. Hasilnya disepakati pertemuan pada tgl 3/10.
  2. Tgl 3/10 diadakan rapat antara PDP dan Muspida Tk I Papua. Hasilnya: Penurunan bendera ditunda sampai ada pertemuan antara PDP dengan Presiden RI dan Menkopolsoskam baru ada pertemuan ulang untuk membalas masalah tersebut.
  3. Tgl 6/10 Pasukan Brimob mengadakan penurunan bendera secara paksa dan hal ini menyebabkan terjadinya korban dikalangan masyarakat dan aparat. Pihak masyarakat ada tiga orang yg meninggal dunia atas nama Elieser Alua, Agus Murib dan seorang ibu yang tidak diketahui namanya sampai berita ini diturunkan. Ada 22 orang yang luka-luka dari 22 tersebut ada 2 orang yang berada dalam kondisi kritis. ada 9 aparat yang disandera dan 1 org meninggal dunia. suasana di wamena sampai sekarang masih tegang dan diperkirakan akan terus berjatuhan korban.
  4. PDP telah mengeluarkan seruan ke seluruh masyarakat Papua di seluruh tanah Papua dan diluar tanah Papua untuk mengadakan aksi damai penutupan kantor dan menghentikan aktivitas pemerintahan RI di tanah Papua.
  5. PDP juga mengeluarkan seruan berduka cita untuk masyarakat Papua di seluruh tanah Papua dan diluar tanah Papua.
  6. Ketiga mayat akan di bawah ke Jayapura dan akan di semayamkan di Jayapura sampai Pemeriontah Indoensia memberi pertanggung jawaban atas peristiwa ini.
  7. Sabtu, 7/10 PDP akan mengadakan rapat dgn masyarakat Papua di Jayapura untuk mengatur acara demo pada hari senin mendatang. Hasil keputusan PDP dan Demmak antara lain: (1) Bendera tidak boleh diturunkan dengan alasan apapun. (2) Kalau Indonesia secara paksa menurunkannya, maka biarlah mereka melakukannya dengan paksa. Pihak orang Papua tidak boleh menyetujuinya. (3) Kalau Indonesia bersikeras mau menurunkan bendera, rakyat Papua akan menuntut Indonesia menandatangani suatu perjanjian secara hukum agar dapat dipergunakan untuk kepentingan politik Papua Barat. (Konsep perjanjian akan kami terbitkan kemudian)
  8. Minggu, 8/10 PDP dijadwalkan ke Wamena bersama anggota Panel dan Presidium asal Wamena didampingi pihak Demmak. Tetapi karena permainan Indonesia cukup berhasil melalui antek mereka Drs. Isak Tabuni, maka mereka berhasil membatalkan keberangkan Theys H. Eluway dan utusan Demmak untuk ke Wamena.
  9. Senin, 9/10 Drs. Isak Tabuni dan Obeth Komba ke Wamena dan melakukan rapat koordinasi dengan pihak Indonesia untuk mengamankan wilayah Wamena.
  10. Selasa 10/10 hasil keputusan dikeluarkan bahwa Bendera Bintang Kejora harus diturunkan dalam batas waktu yang ditentukan Indonesia. Di sini sudah nyata betapa orang Papua, bahkan anggota Presidium sekalipun sudah dipakai oleh Indoensia, sudah dibeli dengan uang.
  11. Masyarat non-Papua di Wamena menyatakan sikap dengan tujuh butir pernyataan dan salah satunya meminta agar pemerintah memberikan fasilitas untuk memberangkatkan mereka keluar dari Wamena. Permintaan ini ditolak oleh Bupati dan keamanannya dengan alasan Wamena sudah aman.
  12. Minggu 15/10 masyarakat Koteka mengadakan rapat darurat untuk mengantisipasi tindakan militer dengan kekerasan menurunkan Bintang Kejora. Satu usulan diajukan dari orang Koteka bahwa (4) Bendera boleh diturunkan dengan alasan Indonesia harus menandatangani sebuah Surat Izin resmi dari Indonesia untuk memperbolehkan orang Papua merayakan hari-hari besar atau penting bagi rakyat Papua setiap tahun, antara lain 1 Desember, 1 July, 26 February, 26 Mei-4 Juni, dll. Indonesia perlu mengizinkan agar kita dapat menurunkan bendera Bintang Kejora bersama-sama.
  13. Senin 16/10 Theys H. Eluway ke Pangdam, Kapolda dan Gubernur Papua untuk berdialogue tentang tanggal dan cara penurunan bendera Bintang Kejora dan sekaligus menyampaikan tuntutan dan isi hati maysarakat koteka.
  14. Selasa, 17/10 Theys H. Eluway menyampaikan hasil dari pertemuan dengan Muspida Provinsi Papua.
  15. Rabu 18/10, Theys H. Eluway kembali mengadakan pertemuan dengan Kapolda, Pangdam dan Gubernur Papua, berlangsung dari pukul 19:00 – 21:00 Waktu Papua (WP). Hasilnya adalah bahwa: “Demi kemanusiaan, penurunan Bendera Bintang Fajar secara sepihak dan secara paksa ditunda sampai Pak Eluway menghadap Presiden Gus Dur pada awal November 2000. Indonesia menawarkan agar Bintang Kejora hanya bisa berkibar di rumah ketua-ketua LMA (Lembaga Masyarakat Adat) di seluruh Papua dan Bintang Kejora adalah Lambang Kebudayaan dan bukan Lambang Politik Papua.”
  16. Rabu 18/10, sementara Theys, cs mengadakan rapat dengan Muspida Papua, Masyarakat Koteka juga mengadakan Rapat Konsolidasi Umum dalam rangka mengantisipasi serangan membabi-buta dari aparat TNI dan Polri. Hasil Rapat memutuskan antara lain: “Masyarakat Koteka akan TETAP mempertahankan Bendera Bintang Fajar yang berkibar di seluruh Papua, khususnya di Gedung Dewan Kesenian Irian Jaya, Imbi, Port Numbay.” Ada yang sudah bersumpah untuk siap mati pada detik-detik penurunan bendera secara Paksa. Tuntutan lain adalah: “Agar Indonesia membuka meja dan ruang untuk Dialog Nasional antara Papua dan Indonesia daripada mengambil tindakan secara sepihak dan dengan kekerasan yang bisa berakibat fatal korban nyawa rakyat sipil yang tak berdosa.” (Lebih lengkap, lihat di sini)
  17. Kamis, 19/10, Rakyat Papua siap mati, tetapi diumumkan bahwa Bendera Bintang Fajar tidak diturunkan sampai ada hasil pertemuan PDP dengan Gus Dur.
  18. Jumat, 20/10, Dua Pesawat Tempur Hawks-100 yang dibeli dari Inggris jatuh di Kalimantan. Satu pesawat lainnya di sandera di Inggris, bersamaan dengan penyanderaan pesawat tempur Tiger AS buatan Amerika Serikat juga disandera di Amerika Serikat. Jakarta sudah dongkol dan menyatakan tindakan ini arogan.
  19. W Papuans offer Wahid peace deal, The Australian, By Jakarta correspondent Don Greenlees
    15nov00

Filed under: War & Conflict, ,

RSS Papua Press Agency Feed

  • An error has occurred; the feed is probably down. Try again later.

RSS MelaPosterous

  • An error has occurred; the feed is probably down. Try again later.

RSS WPMNews RSS

  • An error has occurred; the feed is probably down. Try again later.

Calendar

April 2024
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  

Archives

Categories